Dosen UNAIR Bahas Dua Sisi Quiet Quitting yang Sedang Digemari Anak Muda

    Dosen UNAIR Bahas Dua Sisi Quiet Quitting yang Sedang Digemari Anak Muda
    Dosen Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR), Reza Lidia Sari SPsi MSi

    SURABAYA – Fenomena quiet quitting baru-baru ini menjadi salah satu topik yang marak diperbincangkan. Perilaku yang membatasi diri untuk tidak melakukan hal-hal yang lebih di tempat kerja ini, digadang-gadang menjadi tren baru yang diminati oleh gen Z dan milenial.

    Dosen Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR), Reza Lidia Sari SPsi MSi menjelaskan bahwa quiet quitting merupakan respons perlawanan dari hustle culture yang menganggap pentingnya dedikasi yang amat tinggi pada pekerjaan.

    “Perilaku ini berkebalikan dengan extra-role behavior dimana seseorang berkenan mengerjakan pekerjaan diluar job desc-nya demi kelancaran sistem organisasi, ” jelasnya, Jumat (16/9/2022).

    Dosen mata kuliah Psikologi Organisasi dan Industri itu menyebutkan bahwa sejatinya quiet quitting bukan perilaku yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk. “Masing-masing perilaku memiliki kelebihan dan kekurangannya, ” sebutnya.

    Work Life Balance dan Mengatasi Burn Out

    Saat membatasi pekerjaan sesuai dengan porsinya, seseorang dianggap dapat menciptakan kondisi work-life balance. Kondisi ini membatasi antara dunia kerja dan dunia non kerja yang menjadi situasi idaman bagi kebanyakan gen Z dan Milenial. “Selain itu, tren ini dianggap sebagai hal yang positif karena dapat secara efisien memaksimalkan jam kerja tanpa harus lembur, ” lanjutnya.

    Quiet quitting juga menjadi salah satu mekanisme koping untuk mencegah overwork. “Bisa menjadi jalan keluar untuk pulih dalam burnout dalam bekerja, menarik diri sejenak untuk mengatur ritme kerja yang lebih baik, ” jelasnya.

    Jenjang Karir dan Konflik Organisasi

    Menurut Reza, secara individual perilaku quiet quitting dapat menyebabkan seseorang kurang termotivasi dalam menjalankan perannya sebagai karyawan. Akibatnya, kecilnya kontribusi yang diberikan kepada perusahaan akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jenjang karir.

    Selain itu, Reza juga menyebutkan bahwa dalam organisasi, perilaku ini dapat menyebabkan konflik antar karyawan. “Kecemburuan sosial dapat timbul ketika melihat perbedaan beban atau waktu pulang yang berbeda, untuk itu sebelum timbul konflik sosial, pemimpin organisasi harus peka terhadap situasi ini, ” sarannya. (*)

    Penulis : Stefanny Elly

    Editor : Binti Q.Masruroh

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Berkedok Toko Kosmetik, Belasan Warung di...

    Artikel Berikutnya

    2022 Land Rover Defender - Capable and Utility

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Paul La Fontaine, Ayah yang Berjuang di Tengah Hukum yang Mandul
    100% Suara Hasil Quick Count LSI, Denny JA: Al Haris Unggul 60,92 Persen
    Pasaman Sambut Harapan Baru, Welly-Anggit Menang 36,1 Persen
    Hasil Hitung Cepat Pilwali Kota Kediri Vinanda-Gus Qowim Raih 57 Persen
    Bhabinkamtibmas di Telukjambe Timur Cooling System, Ajak Tokoh Masyarakat Jaga Pilkada Damai

    Ikuti Kami