Mamuju Tengah - Beranjak dari perdebatan yang panjang antara petani dengan perusahan, terkait konsistensi harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS), dalam pekan terakhir diseluruh wilayah Indonesia penghasil sawit, tidak terkecuali di Sulbar, khususnya di tiga kabupaten penghasil terbesar buah kelapa sawit, Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah dan Pasangkayu, maka penting untuk memahami struktur masalah seputar pembelian TBS yang terus berpolemik.
Bagi petani penghasil TBS, Keputusan Pemerintah Sulawesi Barat, tentang Penetapan Harga TBS di Sulbar, adalah payung hukum yang dapat melindungi produksi TBS mereka, untuk mendapatkan plus profit (nilai lebih) terhadap pembelian produksi TBS mereka, akan tetapi jutru tak memberi solusi kongkrit bagi petani, meskipun pijakan hukum penetapan TBS berafiliasi pada Permentan No.1 Tahun 2018 tentang Pengaturan Tata Niaga.
TBS yang juga diharapkan bisa melindungi nilai harga harapan petani TBS, tapi kenyataannya juga tak bisa total dalam melakukan intervensi satuan harga.
Lalu dimana letak Permentan No.1 Tahun 2018, melindungi Kepentingan Penghasil TBS ?, penulis melihat sepertinya, Permentan tidaklah bertaring, karena Permentan No.1 Tahun 2018 ini, hanya menjadi salah satu variabel dalam penentuan harga pembelian TBS, sehingga tak dapat menjadi penjaga utuh dalam pembelian TBS, sebab akhirnya dominan dikembalikan pada international market crude palm oil (CPO).
Ketika kemudian dominasi harga pembelian TBS ditentukan oleh international market CPO, maka Permentan No.1 Tahun 2018 tak bisa menjadi harapan satu satunya bagi petani sawit di Indonesia secara menyeluruh, sebab harus melakukan penyesuaian kondisi ekonomi secara global yang tidak menentu, tingkat inflasi yang berada di beberapa negara negara maju seperti Amerika dan negara maju lainnya, tentu ini akan memengaruhi sistem keuangan mereka pada penyesuaian suku bunga, dampaknya, adalah kepada negara-negara relasi bisnis mereka, seperti Indonesia ini, sebagai salah satu pengekspor komoditas bersumber dari sawit, ujung tentu memengaruhi penentuan harga CPO.
Karenanya apa yang terjadi seminggu terakhir di Sulbar ? TBS dari harga Rp.1.850 perkilo turun menjadi Rp.1.000 perkilogram di PKS makin memperjelas penentuan harga oleh Pemprov yang di atur oleh Permentan No.1 Tahun 2018, hanya salah satu variabel saja dalam penentuan harga TBS, sebab penulis harus maklum, jika harga TBS ini memang kembali pada market CPO secara global.
Untuk itu, penulis berpendapat pemerintah perlu melahirkan kebijakan baru yang bisa berpihak kepada petani sawit secara total, sehingga varia ibelnya tidak dominan kepada pasar CPO secara global, karena dengan longgarnya kebijakan di era reformasi terhadap pengelolaan lahan baik oleh investor maupun oleh masyarakat, membuat hampir semua pulau di luar Jawa secara massif menjadi kawasan perkebunan sawit.
Meskipun kemudian kita tak bisa pungkiri bawah keberhasilan petani, diluar Jawa, yang membuat mereka sejahtera bersumber dari hasil perkebunan sawit, tapi dengan kondisi harga yang dominan ditentukan oleh pasar secara terbuka, tentu sekarang akan menjadi hal yang buruk bagi petani sawit.
Baca juga:
Cappadocia, Film, dan Pemasaran Pariwisata
|
Masih segar diingatan kita beberapa waktu lalu, di saat petani sawit menikmati harga pembelian TBS diatas Rp.3.000, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan RI melahirkan kebijakan penyeragaman satu harga, terhadap harga minyak goreng Rp.14.000 perkilogram.
Tentu kebijakan ini dianggap hanya membuat gaduh, karena harga TBS mengalami fluktuasi, karena disaat waktu yang hampir bersamaan pemerintah pusat melalui arahan kebijakan dari Presiden Joko Widodo juga mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya sehingga lebih memperburuk harga pembelian TBS, sekalipun ekspor CPO juga penghasil devisa terbesar bagi negara ini, sebab negara ini meski berjibaku dengan Pandemi Covid-19, ekspor CPO adalah raja kala itu.
Karenanya, mengakhiri tulisan ini, dengan melihat kondisi kekinian, kita tunggu kebijakan apa yang akan pemerintah lahirkan, sebab menambah pajak ekspor CPO bukan solusi, hanya berdampak buruk terhadap harga CPO di pasar domestik, untuk itu, kita berharap penuh, semoga ada langkah-langkah kongkrit kebijakan yang lahir dari pemerintah untuk membawa kembali nilai satuan pembelian TBS produksi petani membaik.